Banner Ad

Text Ad

27 November 2008

Berdamai Dengan Alergi

Selasa, 28 Oktober 2008 08:42 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta

Di atas pesawat di langit Eropa, Arzetti Bilbina panik luar biasa. Setelah menenggak segelas red wine, wajah dan tubuh perempuan 34 tahun itu dipenuhi bentol merah. Gatal pula. Padahal sang model mesti tampil dalam peragaan kebaya di sejumlah negara di benua itu. Sejak kecil, presenter cantik ini memang mengidap alergi udang dan sejumlah makanan laut. Namun baru kala itu Nyonya Aditya Setiawan ini sadar bahwa ia juga menderita alergi alkohol.

Untunglah ”tragedi wine” itu berujung happy ending. Berkat pil antihistamin, dalam waktu singkat, kulit Arzetti kembali mulus. Ia tetap tampil cantik dalam promosi busana Indonesia itu. Di kemudian hari, dia pun lebih berhati-hati pada minuman beralkohol. Demikian ibu tiga anak ini menceritakan kejadian di awal kariernya sebagai peragawati itu dalam diskusi ”Jangan Abaikan Alergi” di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Alergi memang sekilas terkesan enteng. Gatal-gatal sebentar, dihajar obat anti-alergi, sembuh. Lalu biasanya penderita tidak kapok. Misalnya dengan kembali menyantap makanan pemicu alergi itu. Toh, dengan kembali mengkonsumsi obat, gatal hilang. Itulah yang bisa memunculkan masalah. Obat alergi tidak bisa selalu dianggap sebagai ”dewa penyelamat”. Sebab, kalau terus-menerus mengandalkan obat alergi, efek samping yang timbul bisa mengerikan.

Menurut Iris Rengganis, dokter di Divisi Alergi dan Imunologi Klinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ada seorang penderita alergi yang, karena ”keenakan” minum obat alergi mengandung steroid, sekujur kulitnya ditumbuhi tonjolan atau gumpalan semacam keloid. Jadi, seperti halnya penyakit lain, yang penting, alergi ditangani dengan tepat dan segera. Penderita pun bisa hidup ”bersahabat” dengan alergi sepanjang hayat­maklum, alergi tak bisa disembuhkan.

Bagaimana hidup nyaman bersama alergi? Ya, kenalilah penyebab alergi. Alergen atau penyebab alergi bisa masuk ke tubuh melalui saluran napas (misalnya tungau atau debu rumah dan bulu hewan atau tanaman), saluran cerna (makanan dan obat oral), suntikan, atau menempel pada kulit (misalnya kosmetik, bingkai kacamata, atau perhiasan emas). Masuknya alergen itu akan merangsang reaksi menyimpang dari tubuh. Gejalanya beragam, seperti gatal-gatal, bersin, dan sesak napas. Ada dua jenis alergi yang lazim, yaitu terkait dengan pernapasan dan kulit.

Gangguan pernapasan misalnya asma dan alergi rinitis atau bersin dan pilek berulang ­terutama di pagi hari. Sedangkan reaksi pada kulit berupa biduran atau kaligata (bahasa medisnya: urtikaria) dan eksem. Alergi rinitis biasanya ditandai bersin-bersin, hidung gatal, berair, tersumbat, dan susah bernapas, serta mata gatal, kemerahan, dan berair. Telinga pasien kadang tersumbat sehingga mengganggu pendengaran.

Alergi rinitis ini tak boleh diremehkan karena mengganggu aktivitas sehari-hari. Bahkan, bila dibiarkan, alergi pernapasan ini bisa berkembang menjadi sinusitis. Sedangkan urtikaria ditandai bentol kemerahan dan gatal. Namun harus dicermati juga gejalanya karena tak semua biduran adalah alergi. Menurut Iris, setidaknya seperempat masyarakat pernah mengalami gangguan kulit ini. Pada penderita akut, gejalanya berlangsung sepanjang hari. Penyebabnya pun jelas, misalnya makanan, obat, sengatan serangga, atau lateks. Sedangkan penderita kronis umumnya disebabkan oleh udara dingin atau panas, es, cahaya matahari, dan tekanan pada kulit. Bisa juga karena penyakit autoimun (kekebalan tubuh yang bermasalah), infeksi gigi, atau sinusitis. Itu yang masih termasuk alergi kategori ringan. Alergi yang parah bisa berakibat kematian. Misalnya, ada orang yang, ketika disengat lebah, tubuhnya langsung memproduksi zat histamin berlebihan hingga meninggal seketika. Contohnya tokoh Thomas­anak-anak pengidap alergi yang diperankan Macaulay Culkin­dalam film My Girl. Ada juga penderita yang, begitu bersentuhan dengan alergen, langsung mengalami bengkak sampai ke dalam leher hingga menutupi saluran pernapasan. Karena tak ada jalur napas, nyawa si pasien pun terancam.

Salah satu yang terparah adalah sindrom Steven Johnson­ penyakit yang membuat seseorang menderita alergi obat. Begitu berkontak dengan alergen, penderita akan langsung ditumbuhi selaput mukosa atau selaput putih (seperti pada sariawan) pada bibir, mata, dan kemaluan. Mata bisa buta karena tertutup membran tersebut. Kulit mengelupas, seperti terbakar, dan bernanah. Penampilan penderita mirip terkena luka bakar.

Menurut Iris, kecenderungan seseorang mengidap alergi dipengaruhi dua faktor: genetik dan lingkungan. Alergi tidak menular, tapi menurun, karena ditentukan gen. Karena kita tak bisa mengendalikan faktor keturunan, yang bisa dilakukan adalah mengontrol lingkungan agar ”aman”. Misalnya, untuk menghindari tungau, jangan memasang karpet, kasur kapuk, atau bahan beledu. Solusi lain adalah penggunaan obat antihistamin sesuai dengan petunjuk dokter.

Bila menggunakan dekongestan atau obat tetes atau semprot, misalnya, tak boleh lebih dari tujuh hari berturut-turut, karena bisa memicu efek samping seperti asma. Obat jenis ini juga dilarang bagi penderita penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Sejauh ini, obat yang relatif aman bagi penderita alergi adalah yang mengandung cetirizin-dihidroklorida. Antihistamin ini bisa digunakan pada segala jenis alergi. Namun obat ini tidak dianjurkan bagi wanita hamil dan menyusui, penderita ginjal, serta anak di bawah dua tahun.

Penderita alergi juga harus menghindari stres berlebihan. Sebab, menurut Iris, stres dan depresi bisa melemahkan kekebalan dan meningkatkan zat histamin (zat pemicu yang bisa memperparah alergi) dalam tubuh. Pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga menyatakan wanita dewasa lebih mudah terkena alergi. Terutama ketika terjadi perubahan hormon, misalnya saat menstruasi atau hamil. Ini menjelaskan mengapa di saat hamil seorang ibu lebih rentan terserang asma.

Ada pula kasus orang yang hanya sesekali terserang alergi. Suatu ketika ia aman makan hidangan laut, tapi di waktu lain sekujur tubuhnya mengalami bengkak dan bentol. Menurut Iris, ini terkait dengan daya tahan tubuh seseorang. Di saat kondisi lemah, tubuhnya kalah oleh zat alergen; begitu pula sebaliknya. Tapi, bagi yang sudah telanjur menderita alergi, tak perlu terlampau cemas.

Alergi memang tak bisa hilang seratus persen. Namun, selama lingkungan dan makanan bisa dikontrol, penderita tetap bisa beraktivitas normal, sekaligus ”bersahabat” dengan alergi.


Kenali Gejala Alergi
Alergi bisa diatasi lebih cepat dan efektif jika segera ditangani saat terjadi gejala seperti di bawah ini.

Mata
Kemerahan, gatal, dan berair.

Hidung
Bersin-bersin, tersumbat, gatal, beringus, dan sukar bernapas.

Tenggorokan
Gatal, sakit, dan batuk. Pada penderita alergi yang parah, saluran pernapasan tersumbat sehingga tak bisa bernapas.

Telinga
Gatal, mendengung, dan tersumbat sehingga pendengaran terganggu.

Kulit
Bentol, kemerahan, gatal. Pada penderita alergi obat karena sindrom Steven Johnson, kulit bernanah, mengelupas, dan seperti luka bakar. Bibir, mata, dan kemaluan ditumbuhi selaput tipis.


Contoh alergen :

Alergen inhalan
Tungau, debu rumah, kecoak, polen, serpih kulit hewan, spora jamur.

Alergen ingestan
Susu, telur, kacang, ikan laut, udang, stroberi, dan obat oral.

Alergen injektan
Analgesik dan penisilin.

Alergen kontaktan
Kosmetik dan logam (perhiasan, arloji).


Proses Reaksi Alergi
Masuknya alergen (zat yang menimbulkan reaksi alergi) ke dalam tubuh akan memicu respons imun, kemudian terbentuk antibodi yang berikatan dengan alergen. Hal ini merangsang timbulnya reaksi alergi. Antibodi Plasma sel Alergen